Wednesday, December 29, 2010

WARIS


WARIS

BAB I
PEMBAHASAN

A.    Pengertian harta Waris dan harta Peninggalan
Harta waris ialah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya.dalam istilah lain waris bisa disebut juga dengan fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama islam kepada semua yang berhak menerimanya.menurut Zainuddin bin Abdu Aziz Al-Malibari Al-Fannani makna fara’idh ialah
جمع فريضة بمعن مفروضة,والفرض:التقدير,وشرعاهنا.نصيب مقدرللوارث
Fara’idh adalah bentuk jamak dari ‘faridhah’,sedangkan makna yang dimaksud adalah mafrudhah, yaitu pembagian yang telah dipastikan. Al-fara’idh,menurut istilah bahasa adalah ‘kepastian’, sedangkan menurut istilah syara’ artinya bagian-bagian yang telah dipastikan untuk ahli waris.
Kata ‘warits’ dari ‘yaritsu’-irtsan-wamiratsan’ sebagaimana terdapat dlam al-Qur’an surat An-Naml ayat 16:
وورث سليمنل داود......... (النمل:16)                                                                   
                        “Dan Nabi Sulaiman telah mewarisi Nabi Daud”(Q.S Al-An-Anaml:16)
Demekian pula, dalam surat Al-Qashash ayat 58;
وكنانحن الوارثينز (القصص:58)                                                                         
Dan kami adalah orang-orang yang mewarisi. (Q.s.Al-Qashash:58)
Arti ‘mirats’, menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain.sesuatu itu lebih umum daripada sekadar harta, yaitu ilmu, kemuliaan, dan sebagainya.
Sedangkan harta peninggalan atau bisa disebut juga tirkah ialah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia,baik yang berbentuk benda (harta benda) dan hak-hak kebendaan,serta hak-hak yang bukan hak kebendaan.[1]
Dari definisi tersebut di atas dapat diuraikan bahwa harta peninggalan itu terdiri:
1.      Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan
Yang termasuk dalam kategori ini adalah benda bergerak, benda tidak bergerak, utang-piutang (termasuk diyah wajibah atau denda wajib, uang penganti qishash).
2.      Hak-hak kebendaan
Yang termasuk dalam kategori hak-hak kebendaan ini seperti sumber air minum, irigasi pertanian dan perkebunan, dan lain-lain.
3.      Hak-hak yang bukan kebendaan
Yang termasuk dalam kategori hak-hak yang bukan kebendaanini seperti hak khiyar, hak syuf’ah (hak beli yang diutamakan bagi salah seorang anggota syarikat atau hak tetangga atas tanah pekarangan, dan lain-lain.[2]
menurut pendapat Jawad Mughniyah  tirkah adalah harta peninggalan mayat, yakni segala yang dimilikinya sebelum meninggal, baik berupa benda maupun utang, atau hak dalam jual-beli, hak menerima ganti rugi, atau qishash dan pidana. Manakala dia menjadi wali bagi seseorang yang terbunuh. Misalnya, anaknya dibunuh oleh seseorang, kemudian pembunuhnya meninggal dunia sebelum dia menuntut balas kematian itu(melalui qishas), sehingga hak qishash-nya berubah menjadi ganti rugi berupa uang yang diambil dari peninggalan si pembunuh, persis seperti utang.
Tirkah dapat juga berupa hak-hak yang menjadi miliknya karena kematianny, misalnya diyat (denda) bagi pembunuhan secara tidak sengaja atau sengaja atas dirinya, misalnya para wali justru mengambil diyat dari pembunuh sebagai ganti qishash. Dengan demikian, diyat yang diambil dari pembunuh, hukumnya sama dengan seluruh harta.[3]
            Sebelum harta  peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan si mayit, yang terdiri dari:
1.      Zakat atas harta peninggalan
Adapun yang dimaksud dengan zakat atas harta peninggalan, yaitu zakat yang semestinya harus dibayarkan oleh si mayit, akan tetapi zakat tersebut belum dapat direalisasikan, lantas ia meninggal, maka untuk ini zakat tersebut harus dibayar dari harta peninggalannya tersebut, seperti zakat pertanian dan zakat harta.[4]
2.      Biaya perawatan mayat
Adpun yang dimaksud dengan biaya perawatan si mayit adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan si mayit mulai dari saat meninggalnya sampai dikuburkan (biaya pelaksanaan ferdhu kifayah).[5]
3.      Biaya utang-piutang
Utang adalah tanggungan yang harus diadakan pelunasannya dalam suatu waktu tertentu. Kewajiban pelunasan utang timbul sebagai prestasi (imbalan) yang telah diterima oleh si berutang.
Apabila seseorang yang meninggal utang telah meninggalkan utang kepada seseorang lain, maka seharusnyalah utang tersebut dibayar atau dilunasi terlebih (dari harta peninggalan si mayit) sebelum harta peninggalan tersebut dibagikan kepada ahli warisnya[6]. Utang-piutang menurut Ash-Shabuni dibedakan 2 macam yaitu: 
1)      Utang –piutang aeniyah adalah utang-piutang  yang ada hubungannya dengan harta benda, seperti gadai, segala sesuatu yang berhubungan dengan barang yang digadaikan.
2)      Utang-piutang syahsiyah adalah utang-piutang yang berkaitan dengan kreditur, seperti qiradh, mahar, dan lain-lain.[7]
Para ahli hukum islam mengelompokkan utang seseorang itu kepada 2 kelompok:
1)      Utang terhadap sesama manusia atau dalam istilah hukum islam disebut juga dengan “dain al-ibad”, dan
2)      Utang kepada allah swt, atuau dalam istilah hukum islam disebut juga dengan “dain allah”.
Utang terhadap sesama manusia, apabila dilihat dari segi pelaksanaanya dapat di pilah kepada:
a)      Utang yang berkaitan dengan persoalan kehartabendaan (dain ‘ainiyah).
b)      Utang yang tidak berkaitan dengan persoalan kehartabendaan (dain mutlaqah).
Utang yang berkaitan dengan persoalan kehartabendaan ini dilihat dari segi waktu pelaksanaanya dapat pula dikelompokkan kepada:
a.       Utang mutlaqah apabila dilakukan pada waktu si pewaris dalam keadaan sehat dan dibuktikan keabsahannya, disebut juga dengan ;dain sihah”.
b.      Utang mutlaqah yang dilakukan pada waktu si pewaris dalam keadaan sakit serta tidak pula didukung oleh bukti-bukti yang kuat, disebut juga dengan “dain marad”
Apabila diperhatikan yang menjadi dasar hukum kewajiban membayar atau melunasi utang ini dapat disandarkan kepada ketentuan hukum yang terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 11 yang artinya berbunyi sebagai berikut:
“....................setelah diambil untuk wasiat yang diwasiatkan dan atau sesudah dibayar utsng-piutsng.”. [8]
4.      Wasiat
Adapun yang dimaksud dengan wasiat di sini adalah wasiat yang bukan untuk kepentingan ahli waris, dan jumlah keseluruhan wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga(1/3) dari jumlah keseluruhan harta peninggalan.[9]



B.     Perbedaan Harta Waris Dan Harta Peninggalan
Mengenai hal ini sedikit banyak kita dapat mengetahuinya lewat pembahasan pada point A yaitu mengenai pengertian harta waris dan harta peninggalan. Dalam hal tersebut secara pengertian dapatlah kita memaknai perbedaannya, dan secara umum dapat kita gambarkan perbedaannya bahwa:
1)       Harta peninggalan (tirkah) adalah seluruh dari apa-apa yang ditinggalkan si mayit termasuk harta gono gini sebelum dikurangi untuk pembayaran akomodasi atau hak-hak mayit seperti tajhiz,utang- piutang, dan wasiat.

C.    WASIAT
B.1. Pengertian Wasiat
            Wasiat menurut arti bahasanya adalah menyampaikan, menyambungkan, berasal dari yang artinya menyambungkan, karena pewasiat menyambungkan kebagusan dunianya dengan kebagusan akheratnya. Sedangkan menurut syara’ adalah secara suka rela memberikan hak yang dikaitkan dengan setelah mati.[10]
            Menurut Zainuddin bin Abdul Aziz berpendapat wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal. Wasiat dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada oarang yang diberi wasiat. Oleh karena itu, tidak semua wasiat berbentuk harta. Adakalanya wasiat berbentuk nasihat, petunjuk perihal tertentu, rahasia orang yang memberi wasiat, dan sebagainya.
B.2. Rukun dan Syarat Wasiat
            Rukun wasiat adalah sebagai berikut:
1)      Ada orang yang berwasiat, yakni seorang mukallaf yang berhak berbuat kebaikan serta berwasiat atas kehendaknya sendiri.
2)      Ada yang menerima wasiat (mausilah). Keadaanya hendaklah (dengan jalan yang bukan maksiat), baik pada kemaslahatan umum, seperti membangun masjid, sekolah, atau kepada seseorang yang dipilihnya.
3)      Sesuatu yang diwasiatkan dapat berpindah hak kepemilikannya.
4)      Lafazd (kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami wasiat dengan jelas.
Wasiat hanya ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah, kecuali bila disetujui oleh semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya yang berwasiat.
Demi terjaminnya wasiat di kemudian hari, orang yang berwasiat hendaknya menjadikan sebagai saksi sekurang_kurangnya dua orang yang adil. Wasiat tersebut adalah yang berkaitan dengan harta. Ada pula wasiat yang berkaitan dengan hak kekuasaan yang akan dijalankan sesudah ia meninggal dunia, misalnya seseorang berwasiat kepada orang lain supaya menolong mendidik anaknya kelak, membayar utangnya, atau mengembalikan barang dipinjamnya, sesudah si pemberi wasiat itu meninggal dunia. Hak kekuasaan yang di serahkan hendaklah berupa harta. Hak kekuasaan yang bukan berupa harta, tidak sah diwasiatkan, umpamanya menikahkan anak perempuannya karena kekuasaan wali setelah ia meninggal dunia berpindah kepada wali yang lain menurut susunan wali yang telah ditentukan.[11]
Syarat orang yang diserahi untuk menjalankan wasiat yang akhir ada 6, yaitu:
1)      Islam, berarti orang yang akan menjalankan wasiat itu hendaklah seorang islam.
2)      Keadaannya sudah baligh (sampai umur).
3)      Hendaklah ia orang yang berakal.
4)      Hendaklah orang merdeka (bukan hamba sahaya).
5)      Amanah (keadaannya  seorang yang dapat dipercaya).
6)      Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang kehendaki oleh yang dikehendaki oleh yang berwasiat.
Disyaratkan beberapa syarat yang tersebut, karena penyerahan itu adalah penyerahan tanggung jawab. Maka oleh karena itu, orang yang diserahi itu apabila ia merasa bahwa sifat-sifat yang menjadi syarat tadi cukup ada pada dirinya serta dia merasa sanggup menjalankannya, hendaklah ia terima wasiat itu. Tetapi kalau ia merasa kurang cukup mempunyai sifat-sifat itu, atau kurang kemauan dan kesanggupan untuk menjalankan tanggung jawab yang begitu berat lebih baik tidak diterimanya agar dapat diserahkan kepada orang lain sehingga pekerjaan tidak sia-sia.[12]
            B.3.     HUKUM WASIAT
Menurut ijma’ hukum wasiat adalah sunnah muakkad, sekalipun bersedekah diwaktu sehat kemudian diwaktu sakitadalah lebih afdlal.maka seyogyanya, kapan saja jangan sampai wasiat itu terlupakan, seperti yang dijelaskan Hadist shahih: Tiada hak orang Muslim yang masih sempat bermalam satu atau dua malam dimana mempunyai sesuatu yang ia buat wasiat, melainkan wasiatnya itu tertulis diatas kepala.
Maksudnya, tidak ada sesuatu perkara yang benar atau yang bagus menurut agama kecuali yang seperti itu, karena manusia tidak dapat mengetahui kapankah kematiannya akan berkunjung dengan tiba-tiba. Makruh hukumnya berwasiat melebihi sepertiga(1/3) dari jumlah hartanya, jika hal itu tidak dimaksudkan untuk menghalangi hak ahli warisnya.kalau bermaksud seperti itu hukumnya haram.[13]
Wasiat sah apabila dilakukan oleh seorang mukallaf yang merdeka. Wasiat tidak sah apabila dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan budak, sekalipun statusnya makatab  kalau tanpa seizin dari orang tuanya, dan tidak sah pula apabila dilakukan oleh orang yang dipaksa. Dalam masalah wasiat ini orang yang sedang mabuk disamakan kedudukannya dengan orang mukallaf (yakni sah wasiatnya).
Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa wasiat sah dilakukan oleh anak kecil yang telah mumayyiz (dapat berdikari). Wasiat tersebut harus ditujukanuntuk tujuan yang halal, misalnya untuk pembangunan masjid dan perawatannya.[14]
D.    HIBAH
Hibah dalam arti luas,termasuk shadaqah(sedekah) dan hadiah. Hibah ialah memberikan sesuatu barang yang pada ghlibnya syah dijual atau piutang, oleh orang ahli tabarru’ dengan tanpaada penukarannya.[15] Menurut (Chairuman dan suhrawardi,1994:113) hibah secara etimologi berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan orang yang diberi.
Apabila diperhatikan ketentuan-ketentuan hukum islam tentang pelaksanaan hibah ini, maka hibah tersebut harus dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
1)      Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan.
2)      Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan, dan kalau si penerima hibah dalam keadaan tidak cakap bertindak dalam hukum(misalnya belum dewasa atau kurang sehat akalnya), maka penerimaan dilakukan oleh walinya.
3)      Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutamasekali oleh pemberi hibah.
4)      Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi(hukumnya sunnah), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang sengketa di belakang hari.
Dengan demikian, apabila penghibahan telah dilakukan semasa hidupnya(si mati) dan pada ketika itu belum sempat dilakukan penyerahan barang, maka sebelum harta dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hibah tersebut.  

BAB III
KESIMPULAN

Harta waris ialah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya.dalam istilah lain waris bisa disebut juga dengan fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama islam kepada semua yang berhak menerimanya.
Sedangkan harta peninggalan atau bisa disebut juga tirkah ialah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia,baik yang berbentuk benda (harta benda) dan hak-hak kebendaan,serta hak-hak yang bukan hak kebendaan.[16]
Dari definisi tersebut di atas dapat diuraikan bahwa harta peninggalan itu terdiri:
1.      Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan
Yang termasuk dalam kategori ini adalah benda bergerak, benda tidak bergerak, utang-piutang (termasuk diyah wajibah atau denda wajib, uang penganti qishash).
2.      Hak-hak kebendaan
Yang termasuk dalam kategori hak-hak kebendaan ini seperti sumber air minum, irigasi pertanian dan perkebunan, dan lain-lain.
3.      Hak-hak yang bukan kebendaan
Yang termasuk dalam kategori hak-hak yang bukan kebendaanini seperti hak khiyar, hak syuf’ah (hak beli yang diutamakan bagi salah seorang anggota syarikat atau hak tetangga atas tanah pekarangan, dan lain-lain.[17]
Tirkah dapat juga berupa hak-hak yang menjadi miliknya karena kematianny, misalnya diyat (denda) bagi pembunuhan secara tidak sengaja atau sengaja atas dirinya, misalnya para wali justru mengambil diyat dari pembunuh sebagai ganti qishash. Dengan demikian, diyat yang diambil dari pembunuh, hukumnya sama dengan seluruh harta.[18]
            Sebelum harta  peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan si mayit, yang terdiri dari:
1.      Zakat atas harta peninggalan
2.      Biaya perawatan mayat
3.      Biaya utang-piutang
4.      Wasiat
berpendapat wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal. Wasiat dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada oarang yang diberi wasiat. Oleh karena itu, tidak semua wasiat berbentuk harta. Adakalanya wasiat berbentuk nasihat, petunjuk perihal tertentu, rahasia orang yang memberi wasiat, dan sebagainya.




[1] Drs. Beni Ahmad Saebani, M Si., FIQH MAWARIS, CV. PUSTAKA SETIA,Bandung,2009,hal 13-15
[2] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum KEWARISAN ISLAM, kencana, jakarta,2008,hal 47-48
[3] FIQH MAWARIS, hal 15
[4] Suhrawardi Lubis, S.H. komis simanjuntak, S.H.,HUKUM WARIS ISLAM,Sinar grafika,jakarta,2008,hal 51
[5] Hukum KEWARISAN ISLAM,hal 39-40
[6] Ibid hal 45
[7] FIQH MAWARIS,HAL 15
[8] Hukum KEWARISAN ISLAM,HAL 45-46
[9] HUKUM WARIS ISLAM,hal 51
[10] Drs. H. Aliy As’ad,FATHUL MU’IN,menara kudus,kudus,jilid 2, hal 393
[11] FIQH MAWARIS,HAL 343-344
[12] H. Sulaiman Rasjid,Fiqih islam,ATTAHIRIYAH,jakarta,1954,hal 353
[13] FATHUL MU’IN,hal 393
[14] FIQH MAWARIS,HAL345-346
[15] FATHUL MU’IN,HAL 324
[16] Drs. Beni Ahmad Saebani, M Si., FIQH MAWARIS, CV. PUSTAKA SETIA,Bandung,2009,hal 13-15
[17] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum KEWARISAN ISLAM, kencana, jakarta,2008,hal 47-48
[18] FIQH MAWARIS, hal 15

Tuesday, December 28, 2010

FAWATIH AL SUWAR


BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Studi atas Al-Quran telah banyak dilakukan oleh para ulama dan sarjana tempo dulu, termasuk para sahabat di zaman Rasulullah saw. Hal itu tidak lepas dari disiplin dan keahlian yang dimiliki oleh mereka masing-masing. Ada yang mencoba mengelaborasi dan melakukan eksplorasi lewat perspektif keimananm historis, bahasa dan sastra, pengkodifikasian, kemu’jizatanm penafsiran serta telaah kepada huruf-hurufnya.
Kondisi semacam itu bukan hanya merupakan artikulasi tanggung jawab seorang Muslim untuk memahami bahasa-bahasa agamanya. Tetapi sudah berkembang kepada nuansa lain yang menitikberatkan kepada studi yang bersifat ilmiah yang memberikan kontribusi dalam perkembangan pemikiran dalam dunia Islam. Kalangan sarjana Barat banyak yang melibatkan diri dalam pengkajian Al-Quran, dengan motivasi dan latar belakang kultural maupun intelektual yang berbeda-beda.
Al-Quran sebagai diketahui terdiri dari 114 surat, yang di awali dengan beberapa macam pembukaan (fawatih al-suwar) . di antara macam pembuka surat yang tetap aktual pembahasannya hingga sekarang ini huruf muqatha’ah. Menurut Watt, huruf-huruf yang terdiri dari huruf-huruf alphabet (hijaiyah) ini, selain mandiri juga mengadung banyak misterius, karena sampai saat ini belum ada pendapat yang dapat menjelaskan masalah itu secara memuaskan.
B. RUMUSAN MASALAH
      A. Fawatih al-Suwar
      B.  Pendapat Para Ulama Tentang Huruf Hijaiyah Pembuka Surat


BAB II
PEMBAHASAN
A. Fawatih al-Suwar
1. Pengertian Fawatih al-Suwar
Dari segi bahasa, fawatihus suwar berarti pembukaan-pembukaan surat, karena posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks pada suatu surat. Apabila dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah, huruf cenderung ‘menyendiri’ dan tidak bergabung membentuk suatu kalimat secara kebahasaan. Dari segi pembacaannya pun, tidaklah berbeda dari lafazh yang diucapkan pada huruf hijaiyah.
Ibnu Abi Al Asba’ menulis sebuah kitab yang secara mendalam membahas tentang bab ini, yaitu kitab Al-Khaqathir Al-Sawanih fi Asrar Al-Fawatih. Ia mencoba menggambarkan tentang beberapa kategori dari pembukaan-pembukaan surat yang ada di dalam Al-Quran. Pembagian karakter pembukaannya adalah sebagai berikut. Pertama, pujian terhadap Allah swt yang dinisbahkan kepada sifat-sifat kesempurnaan Tuhan. Kedua, yang menggunakan huruf-huruf hijaiyah; terdapat pada 29 surat. ketiga, dengan mempergunakan kata seru (ahrufun nida), terdapat dalam sepuluh surat. lima seruan ditujukan kepada Rasul secara khusus. Dan lima yang lain ditujukan kepada umat. Keempat, kalimat berita (jumlah khabariyah); terdapat dalam 23 surat. kelima, dalam bentuk sumpah (Al-Aqsam); terdapat dalam 15 surat.[1]
2. Macam-macam fawatih al-suwar
Beberapa ulama telah melakukan penelitian tentang pembukaan surat Alquran, diantaranya sebagai yang dilakukan al-Qasthalani. Ia mengiventarisir Fawatih al-Suwar menjadi sepuluh macam. Sementara Ibn Abi al-Isba dalam kitabnya al-Khaqatir al-Sawanih fi Asrar Fawatih, hanya menyebutkan lima saja.

A. Pembukan dengan pujian kepada Allah (al-istiftah bi al-tsana).Pujian kepada Allah ada dua macam, yaitu:
1) Menetapkan sifat-sifat terpuji kepada Allah (al-itsbat shifat al-madhiy) dengan menggunakan salah satu lafal berikut.
a) Memakai lafal hamdalah, yakni dibuka dengan (الحمد لله), yang terdapat dalam 5 surat.
b) Memakai lafal (تبارك), yang terdapat dalam 2 surat.
2) Mensucikan Allah dari sifat-sifat negatif (tanzih ‘an sifat naqshim) dengan menggunakan lafal tasbih, (يسبح\سبح\سبح\سبحن) sebagai yang terdapat dalam 7 surat.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata masing-masing surat tersebut menetapkan sifat-sifat yang negatif. Surat-sufat yang diawali dengan pujian ini memiliki tasbih itu merupakan monopoli Allah. Dalam hal ini, tasbih dimulai dengan mashdar dan selanjutnya diikuti dengan fi’il. Ini semua dimaksudkan agar mencakup seluruh tasbih, sekaligus menunjukkan betapa ajaibnya Al-Quran itu.
B.. Pembukaan dengan huruf-huruf yang terputus-putus (Istiftah bi al-huruf al-muqatha’ah).
Pembukan dengan huruf-huruf ini terdapat dalam 29 surat dengan memakai 14 huruf tanpa diulang, yakni (ا\ي\هـ\ن\م\ل\ك\ق\ع\ك\ص\س\ر\ح)Penggunan huruf-huruf tersebut dalam pembukaan surat-surat Alquran disusun dalam 14 rangkaian, yang terdiri dari kelompok berikut:
1) Kelompok sederhana, terdiri dari satu huruf, terdapat dalam 3 surat, yakni (ص) (QS. Shad); (ق) (QS. Qaf); dan (ن) (QS. Nun).
2) Kelompok yang terdiri dari dua huruf, tedapat dalam 3 surat, yakni (حم) (QS. Al-Mu’min; QS. Al-Sajdah; QS. Al-Zukhruf, QS. Al-Dukhan; QS. Al-Jatsiyah; dan QS.Al-Ahkaf; (طه) (QS. Thaha); (طس) (QS. Al-Naml); dan (يس) (QS. Yasin).
3) Kelompok yang terdiri dari tiga huruf, yakni (الم) QS. Al-Bqarah, QS. Ali Imran, QS. Al-Ankabut, QS. Al-Rum, QS. Luqman dan QS. Al-Sajdah); (الر) (QS. Yunus, QS. Hud, QS. Ibrahim, QS. Yusuf, dan QS. Al-Hijr, dan (طسم) (QS. Al-Qashash dan QS. Al-Syu’ara).
4) Kelompok yang terdiri dari empat huruf, yakni (الر) (QS. Al-Ra’ad) dan (المص) (QS. Al-A’raf). Kelompok yang terdiri dari lima huruf, yakni rangkaian ((كهيعص (QS. Maryam) dan (حم عسق) (QS. Al-Syuara).
C. Pembukaan dengan panggilan (al-istiftah bi al-nida).
Nida ini ada tiga macam, yaitu nida’ untuk nabi, nida untuk kaum mukminin dan nida untuk umat manusia.
D. Pembukaan dengan kalimat (jumlah) khabariah (al-istiftah bi al-jumal al-khabariayyah).[2]






Jumlah khabariyyah di dalam pembukaan surat ada dua macam, yaitu:
1) Jumlah ismiyyah
Jumlah ismiyyah yang menjadi pembuka surat terdapat 11 surat, yaitu:
(a) (براءة من الله ورسوله) (Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan rasul-Nya (QS. Al-Taubah).
(b) (سورة انزلناها وفرضناها) (ini adalah) satu surat yang Kami nuzulkan dan kami wajibkan (QS. Al-Nur);
(c) (تنزيل الكتاب من الله العزيز الحكيم) /Kitab Alquran ini dinuzulkan oleh Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Zumar);
(d) (الذين كفروا زصلوا عن سبيل الله) (orang-orang kafir dan menghalang-halangi (manusia), dari jalan Allah), (QS. Muhammad);
(e) (ان فتحنالك فتحا مبينا) / Sunngguh kami telah, memberikan keapdamu kemenangan yang nyata (QS. Al-Fath);
(f) (الرحمان علم القران) /Alah Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan, (QS. Al-Rahman);
(g) (الحاقة ماالحاقة) / Kiamat, apakah hari kiamat itu? (QS. Al-Haqqa);
(h) (ان ارسلنانوحا الي قوم) /Sungguh telah mengutus Nuh kepada kaumnya (QS. Nuh) ;
(i) (انا انزلنه في ليلة القدر) /Sungguh telah menurunkannya (Alquran) pada malam al-Qadr (QS. Al-Qadr); QS. Al-Qadr;
(j) (القارعة ما القارعة) /Hari Kiamat, apakah Hari kiamat itu?(QS. Al-Qari’ah);
(k) (انا اعطيناك الكوثر) /Sungguh kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak (QS. Al-Kawtsar).
2) Jumlah fi’liyah
Jumlah fi’liyah yang menjadi pembuka surat-surat Alquran terdapat dalam 12 surat, yaitu (a) (يسئلونك عن الانفال) /Mereka bertanya kepadamu tentang pendistribusian harta rampasan perang (QS. Al-Anfal); (b) (اتي امرالله فلا تستعجلوه) /Telah pasti datangnya ketetapan Allah itu, maka janganlah minta disegerakan (QS. Al-Nahl), (c). (اقترب للناس حسابهم) /Telah dekat datangnya saat itu (QS. Al-Qamar); (d) (قدافلحل المئمنون) /Sungguh beruntung orang-orang yang beriman (QS. Al-Mukminun; (e) (اقتربت الساعة) /telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalam mereka (QS. Al-Anbiya); (f) (قدسمع الله قول التي تجادلك) /Seseorang telah meminta kedatangan azab yang akan menimpanya (QS. Al-Ma’arij); (g) (لاقسم بيوم القيامة) /Aku bersumpah dengan hari kiamat (QS. Al-Qiyamah); (h) (لااقسم بهذا البلاد) /Aku bersumpah dengan kota ini, Makkah (QS. Balad); (i) (عبس وتولي) /Dia (Muhammad) bermuka Masam dan berpaling (QS. ‘Abasa) (j) (لم يكن الذين كفروا من اهل الكتاب) /Dia Orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan agamanya (QS. Al-Bayyinah); (k) (الهاكمتكاثر) /Bermegah-megahan telah melalaikan kamu (QS. Al-Takatsur).
Adapun hikmah dan rahasia adanya pembukaan surat-surat dengan nida’ yaitu untuk memberi perhatian dan peringatan, baik bagi Nabi, umatnya, maupun untuk menjadi pedoman kehidupan ini.
E. Pembukaan dengan sumpa (al-istiftah bi al-qasam).
Sumpah yang digunakan dalam pembukaan surat Al-quran ada tiga macam dan terdapat dalam 15 surat.
1) Sumpah dengan benda-benda angkasa, misalnya (والصفات) (Demi rombongan yang bersaf-saf) dalam QS. Al-Shaffat; (والنجم) (Demi bintang) dalam surat al-Najm; (زالمرسلات) (Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa) dalam QS. Al-Nai’at; (والسماء ذات البروج) (Demi lagit yang memiliki gugusan bintang) dalam QS. Al-Buruj; (والسماء و الطارق) (Demi langit dan yang datang pada malam harinya) dalam QS al-Thariq; (والفجروليال عشر) (Demi fajar dan malam yang sepuluh) dalam QS. Al-Fajr; dan (والشمس والضحها) (Demi matahari dan cahanyanya di waktu duha) dalam QS. Al-Syams.
2) Sumpah dengan benda-benda bawah, misalnya (والذاريات ذروا) (Demi angin yang menerbangkan debu dengan sekuat-keuatnya) dalam QS. Al-Dzariyyat; (والطور) (Demi bukit Thur) dalam QS. Al-Thur; (والتين) (Demi buah Tin) dalam QS. Al-Thin; (والعاديت) (Demi kuda perang yang berlari kencang) dalam QS. Al-‘Adiyat.
3) Sumpah dengan waktu, misalnya (واليل) (Demi malam) dalam QS. Al-Layl; (والضحي) (Demi waktu duha) dalam QS. Al-Dhuha; (والعصر) (Demi waktu) dalam QS. Al-Ashr.

Hikmah dari fawatih al suwar dengan sumpah ini, pertama, agar manusia meneladani sikap bertanggung jawab; berbicara harus benar dan jujur dan berani berbicara untuk menegakkan keadilan; kedua, agar dalam bersumpah manusia harus senantiasa memakai nama-nama Allah bukan selain-Nya; ketiga, digunakannya beberapa benda sebagai sumpah Allah dimaksudkan agar benda-benda itu diperhatikan manusia dalam rangka mendekatkan diri keapda Allah, karena pada dasarnya, benda-benda itu ciptaan Allah.
F. Pembukaan dengan syarat (al-istiftah bi al-syarth).
Syarat yang digunakan dalam pembukaan surat Al-Quran ada dua macam dan digunakan dalam 7 surat, yakni: (1) (اذالشمس كورت) / Apabila matahari digulung dalam QS. Al-Takwir; (2) (اذالشماء انفطرت) /Apabila langit terbelah, dalam QS. Al-Infithar; (3) (اذالشماء انشقت) /Apabila langit terbelah, dalam QS. Al-Insyiqaq, (4) (اذا واقعت الواقعة) /Apabila terjadi hari kiamat , dalam QS. Al-Waqi’ah; (5) (اذاجاءك المنافقون) /Apabila orang-orang munafik datang kepedamu, dalam QS. Al-Munafiqun; (6) (اذا زلزلت الارض زلزالها) /Apabila bumi dogoncangkan dengan goncangan yang dahsyat, dalam QS. Al-Zaljalah; (7) (اذاجاءنصرالله والفتح) /Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dalam QS. Al-Nashr.
G. Pembukaan dengan kata kerja perintah (al-istiftah bi al-amr)
1) Dengan (اقرأ) bacalah, yang hanya terdapat dalam QS. Al-Alaq
2) Dengan (قل) katakanlah, yang terdapat dalam QS al-Jin, QS. Al-Kafirun, QS. Al-Falaq dan QS. Al-Nas.



H. Pembukaan dengan pertanyaan (al-istiftah bi al-istifham)Bentuk pertanyaan ini ada dua macam yaitu:
1) Pertanyaan, positif yang pertanyaan dengan menggunakan kalimat positif. Pertanyaan ini digunakan dalam 4 pendahuluan surat Alquran, yaitu: (هل اتي علي الانسان حين من الدهر) Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa dalam QS. Al-Dahr, (عم يتساءلون . عن البإالعجيم) Tentang apakah mereka saling bertanya tentang berita yang besar, dalam QS al-Naba, (هل اتاك حديث الغاشية) Sudah datangkah kepadamu berita tentang hari pembalasan? Dalam QS. Al-Ghasyiyah, (ارايت الذي يكذب بالدين) Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Dalam QS. Al-Ma’un.
2) Pertanyaan negatif, yaitu pertanyaan dengan menggunakan kalimat; negatif, yang hanya terdapat dalam dua surat, yakni (الم نشرح لك صدرك) Bukankah kami telah melapangkan dadamu untukmu, dalam QS. Al-Insyirah dan (الم تركيف فعل ربك بأصحب الفيل) Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah dalam QS. Al-Fil.
I. Pembukaan dengan doa (al-istiftah bi al-du’a)
Pembukan dengan doa ini terdapat dalam tiga surat. Yaitu: (ويل للمطففين) Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang, dalam QS. Al-Muthaffifin, (ويل لكل همزةلمزة) Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela dalam QS. Al-Humazah, (تبتيدا ابي لهب وتب) Binasalah tangan Abu Lahab dan sungguh dia akan binasa dalam QS. Al-lahab.


J. Pembukaan dengan alasan (al-istiftah bi al-ta’lil)
Pembukan dengan alasan ini hanya terdapat dalam QS. Al-Quraisy (لإيلف قريش) Karena kebiasaan orang-orang Quraisy.[3]
B. Pendapat Para Ulama Tentang Huruf Hijaiyah Pembuka Surat
Para ulama yang membicarakan masalah ini ada yang berani menafsirkannya, di mana huruf-huruf itu merupaka rahasia yang hanya Allah sendiri yang mengetahui-Nya.
1.Az-Zamarksyari berkata dalam tafsirnya “Al-Qasysyaf” huruf-huruf ini ada beberapa pendapat yaitu:
a.       Merupakan nama surat
b.      Sumpah Allah
c.       Supaya menarik perhatian orang yang mendengarkannya.
      2.As-Sayuti menukilkan pendapat Ibnu Abbas tentang huruf tersebut sebagai berikut:
(الم) berarti (انا الله اعلم), (المص) berarti (انا الله اعلم و افصل), (الر) berarti (انا الله اري), (كهيعص) diambil dari (كريم – هاد – حكيم – عليم - صادق) juga berarti (كان – هاد – تمين – عالم - صادق) Adh Dhahak berpendapat bahwa (الر) ialah: اناالله اعلم وارفع
dikatakan pendapat hanyalah dugaan belaka. Kemudian As-Suyuti menerangkan bahwa hal itu merupakan rahasia yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya.
      3.al-Quwaibi mengatakan bahwasanya kalimat itu merupakan tanbih bagi Nabi, mungkin pada suatu saat Nabi dalam keadaan sibuk, maka Allah menyuruh Jibril untuk memberikan perhatian terhadap apa yang disampaikan kepadanya.
     4.As-Sayid Rasyid Ridha tidak membenarkan Al-Quwaibi di atas, karena Nabi senantiasa dalam keadaan sadar dan senantiasa menanti kedatangan wahyu.
Rasyid Ridha berpendapat sesuai dengan Ar-Razi, bahwa tanbih ini sebenarnya dihadapkan kepada orang-orang Musyrik Mekkah dan Ahli Kitab Madinah. Karena orang-orang kafir apabila Nabi membacakan Al-Quran mereka satu sama lain menganjurkan untuk tidak mendengarkannya.
     5.Ulama salaf berpendapat bahwa “Fawatih Suwar” telah disusun semenjak zaman azali sedemikian rupa supaya melengkapi segala yang melemahkan manusia dari mendatangkannya seperti Al-Quran.[4]
Oleh karena i'tiqad bahwa huruf-huruf ini telah sedemikian dari azalinya, maka banyaklah orang yang tidak berani mentafsirkannya dan tidak berani mengeluarkan pendapat yang tegas terhadap huruf-huruf itu. Huruf-huruf itu dipandang masuk golongan mutasyabihat yang hanya Allah sendiri yang mengetahui tafsirnya.
Huruf-huruf itu, sebagai yang pernah ditegaskan oleh Asy-Syabi, ialah rahasia dari pada Al-Quran ini.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
Sesungguhnya bagi tiap-tiap Kitab ada saripatinya. Saripati Al-Quran ini ialah, huruf-huruf Hijaiyah”.
Abu baker As-Shiddieqi pernah berkata:
Di tiap-tiap kitab ada rahasianya. Rahasianya dalam Al-Quran ialah permulaan-permulaan surat”.
Dalam hal ini Prof. Hasbi As-Shiddieqi menegaskan bahwa dibolehkannya mentakwilkan huruf-huruf tersebut asal tidak menyalahi penetapan Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam pada itu yang lebih baik kita serahkan saja kepada Allah.[5]

PENUTUP
Kesimpulan
Dari segi bahasa, fawatihus suwar berarti pembukaan-pembukaan surat, karena posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks pada suatu surat. Apabila dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah, huruf cenderung ‘menyendiri’ dan tidak bergabung membentuk suatu kalimat secara kebahasaan. Dari segi pembacaannya pun, tidaklah berbeda dari lafazh yang diucapkan pada huruf hijaiyah.
Ibnu Abi Al Asba’ menulis sebuah kitab yang secara mendalam membahas tentang bab ini, yaitu kitab Al-Khaqathir Al-Sawanih fi Asrar Al-Fawatih. Ia mencoba menggambarkan tentang beberapa kategori dari pembukaan-pembukaan surat yang ada di dalam Al-Quran. Pembagian karakter pembukaannya adalah sebagai berikut. Pertama, pujian terhadap Allah swt yang dinisbahkan kepada sifat-sifat kesempurnaan Tuhan. Kedua, yang menggunakan huruf-huruf hijaiyah; terdapat pada 29 surat. ketiga, dengan mempergunakan kata seru (ahrufun nida), terdapat dalam sepuluh surat. lima seruan ditujukan kepada Rasul secara khusus. Dan lima yang lain ditujukan kepada umat. Keempat, kalimat berita (jumlah khabariyah); terdapat dalam 23 surat. kelima, dalam bentuk sumpah (Al-Aqsam); terdapat dalam 15 surat

 
DAFTAR PUSTAKA
  1. Prof. Dr. H. Abdul Djalal  H. A, Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya, 2008,175-198
2.      Drs. H. Ahmad Syadili, Drs. A. Rofi’i, Ulumul Qur’an, CV. Pustaka, bandung 1997,185-198
  1. al-Hasni, Mahmud bin Alawi al-Maliki, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Quran, Bandung, Pustaka Setia, 1998.
  2. Chirzin, Muhammad, Al-Quran dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta, PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.
  3. Ibid. h. 190-192.