Wednesday, December 29, 2010

WARIS


WARIS

BAB I
PEMBAHASAN

A.    Pengertian harta Waris dan harta Peninggalan
Harta waris ialah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya.dalam istilah lain waris bisa disebut juga dengan fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama islam kepada semua yang berhak menerimanya.menurut Zainuddin bin Abdu Aziz Al-Malibari Al-Fannani makna fara’idh ialah
جمع فريضة بمعن مفروضة,والفرض:التقدير,وشرعاهنا.نصيب مقدرللوارث
Fara’idh adalah bentuk jamak dari ‘faridhah’,sedangkan makna yang dimaksud adalah mafrudhah, yaitu pembagian yang telah dipastikan. Al-fara’idh,menurut istilah bahasa adalah ‘kepastian’, sedangkan menurut istilah syara’ artinya bagian-bagian yang telah dipastikan untuk ahli waris.
Kata ‘warits’ dari ‘yaritsu’-irtsan-wamiratsan’ sebagaimana terdapat dlam al-Qur’an surat An-Naml ayat 16:
وورث سليمنل داود......... (النمل:16)                                                                   
                        “Dan Nabi Sulaiman telah mewarisi Nabi Daud”(Q.S Al-An-Anaml:16)
Demekian pula, dalam surat Al-Qashash ayat 58;
وكنانحن الوارثينز (القصص:58)                                                                         
Dan kami adalah orang-orang yang mewarisi. (Q.s.Al-Qashash:58)
Arti ‘mirats’, menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain.sesuatu itu lebih umum daripada sekadar harta, yaitu ilmu, kemuliaan, dan sebagainya.
Sedangkan harta peninggalan atau bisa disebut juga tirkah ialah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia,baik yang berbentuk benda (harta benda) dan hak-hak kebendaan,serta hak-hak yang bukan hak kebendaan.[1]
Dari definisi tersebut di atas dapat diuraikan bahwa harta peninggalan itu terdiri:
1.      Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan
Yang termasuk dalam kategori ini adalah benda bergerak, benda tidak bergerak, utang-piutang (termasuk diyah wajibah atau denda wajib, uang penganti qishash).
2.      Hak-hak kebendaan
Yang termasuk dalam kategori hak-hak kebendaan ini seperti sumber air minum, irigasi pertanian dan perkebunan, dan lain-lain.
3.      Hak-hak yang bukan kebendaan
Yang termasuk dalam kategori hak-hak yang bukan kebendaanini seperti hak khiyar, hak syuf’ah (hak beli yang diutamakan bagi salah seorang anggota syarikat atau hak tetangga atas tanah pekarangan, dan lain-lain.[2]
menurut pendapat Jawad Mughniyah  tirkah adalah harta peninggalan mayat, yakni segala yang dimilikinya sebelum meninggal, baik berupa benda maupun utang, atau hak dalam jual-beli, hak menerima ganti rugi, atau qishash dan pidana. Manakala dia menjadi wali bagi seseorang yang terbunuh. Misalnya, anaknya dibunuh oleh seseorang, kemudian pembunuhnya meninggal dunia sebelum dia menuntut balas kematian itu(melalui qishas), sehingga hak qishash-nya berubah menjadi ganti rugi berupa uang yang diambil dari peninggalan si pembunuh, persis seperti utang.
Tirkah dapat juga berupa hak-hak yang menjadi miliknya karena kematianny, misalnya diyat (denda) bagi pembunuhan secara tidak sengaja atau sengaja atas dirinya, misalnya para wali justru mengambil diyat dari pembunuh sebagai ganti qishash. Dengan demikian, diyat yang diambil dari pembunuh, hukumnya sama dengan seluruh harta.[3]
            Sebelum harta  peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan si mayit, yang terdiri dari:
1.      Zakat atas harta peninggalan
Adapun yang dimaksud dengan zakat atas harta peninggalan, yaitu zakat yang semestinya harus dibayarkan oleh si mayit, akan tetapi zakat tersebut belum dapat direalisasikan, lantas ia meninggal, maka untuk ini zakat tersebut harus dibayar dari harta peninggalannya tersebut, seperti zakat pertanian dan zakat harta.[4]
2.      Biaya perawatan mayat
Adpun yang dimaksud dengan biaya perawatan si mayit adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan si mayit mulai dari saat meninggalnya sampai dikuburkan (biaya pelaksanaan ferdhu kifayah).[5]
3.      Biaya utang-piutang
Utang adalah tanggungan yang harus diadakan pelunasannya dalam suatu waktu tertentu. Kewajiban pelunasan utang timbul sebagai prestasi (imbalan) yang telah diterima oleh si berutang.
Apabila seseorang yang meninggal utang telah meninggalkan utang kepada seseorang lain, maka seharusnyalah utang tersebut dibayar atau dilunasi terlebih (dari harta peninggalan si mayit) sebelum harta peninggalan tersebut dibagikan kepada ahli warisnya[6]. Utang-piutang menurut Ash-Shabuni dibedakan 2 macam yaitu: 
1)      Utang –piutang aeniyah adalah utang-piutang  yang ada hubungannya dengan harta benda, seperti gadai, segala sesuatu yang berhubungan dengan barang yang digadaikan.
2)      Utang-piutang syahsiyah adalah utang-piutang yang berkaitan dengan kreditur, seperti qiradh, mahar, dan lain-lain.[7]
Para ahli hukum islam mengelompokkan utang seseorang itu kepada 2 kelompok:
1)      Utang terhadap sesama manusia atau dalam istilah hukum islam disebut juga dengan “dain al-ibad”, dan
2)      Utang kepada allah swt, atuau dalam istilah hukum islam disebut juga dengan “dain allah”.
Utang terhadap sesama manusia, apabila dilihat dari segi pelaksanaanya dapat di pilah kepada:
a)      Utang yang berkaitan dengan persoalan kehartabendaan (dain ‘ainiyah).
b)      Utang yang tidak berkaitan dengan persoalan kehartabendaan (dain mutlaqah).
Utang yang berkaitan dengan persoalan kehartabendaan ini dilihat dari segi waktu pelaksanaanya dapat pula dikelompokkan kepada:
a.       Utang mutlaqah apabila dilakukan pada waktu si pewaris dalam keadaan sehat dan dibuktikan keabsahannya, disebut juga dengan ;dain sihah”.
b.      Utang mutlaqah yang dilakukan pada waktu si pewaris dalam keadaan sakit serta tidak pula didukung oleh bukti-bukti yang kuat, disebut juga dengan “dain marad”
Apabila diperhatikan yang menjadi dasar hukum kewajiban membayar atau melunasi utang ini dapat disandarkan kepada ketentuan hukum yang terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 11 yang artinya berbunyi sebagai berikut:
“....................setelah diambil untuk wasiat yang diwasiatkan dan atau sesudah dibayar utsng-piutsng.”. [8]
4.      Wasiat
Adapun yang dimaksud dengan wasiat di sini adalah wasiat yang bukan untuk kepentingan ahli waris, dan jumlah keseluruhan wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga(1/3) dari jumlah keseluruhan harta peninggalan.[9]



B.     Perbedaan Harta Waris Dan Harta Peninggalan
Mengenai hal ini sedikit banyak kita dapat mengetahuinya lewat pembahasan pada point A yaitu mengenai pengertian harta waris dan harta peninggalan. Dalam hal tersebut secara pengertian dapatlah kita memaknai perbedaannya, dan secara umum dapat kita gambarkan perbedaannya bahwa:
1)       Harta peninggalan (tirkah) adalah seluruh dari apa-apa yang ditinggalkan si mayit termasuk harta gono gini sebelum dikurangi untuk pembayaran akomodasi atau hak-hak mayit seperti tajhiz,utang- piutang, dan wasiat.

C.    WASIAT
B.1. Pengertian Wasiat
            Wasiat menurut arti bahasanya adalah menyampaikan, menyambungkan, berasal dari yang artinya menyambungkan, karena pewasiat menyambungkan kebagusan dunianya dengan kebagusan akheratnya. Sedangkan menurut syara’ adalah secara suka rela memberikan hak yang dikaitkan dengan setelah mati.[10]
            Menurut Zainuddin bin Abdul Aziz berpendapat wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal. Wasiat dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada oarang yang diberi wasiat. Oleh karena itu, tidak semua wasiat berbentuk harta. Adakalanya wasiat berbentuk nasihat, petunjuk perihal tertentu, rahasia orang yang memberi wasiat, dan sebagainya.
B.2. Rukun dan Syarat Wasiat
            Rukun wasiat adalah sebagai berikut:
1)      Ada orang yang berwasiat, yakni seorang mukallaf yang berhak berbuat kebaikan serta berwasiat atas kehendaknya sendiri.
2)      Ada yang menerima wasiat (mausilah). Keadaanya hendaklah (dengan jalan yang bukan maksiat), baik pada kemaslahatan umum, seperti membangun masjid, sekolah, atau kepada seseorang yang dipilihnya.
3)      Sesuatu yang diwasiatkan dapat berpindah hak kepemilikannya.
4)      Lafazd (kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami wasiat dengan jelas.
Wasiat hanya ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah, kecuali bila disetujui oleh semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya yang berwasiat.
Demi terjaminnya wasiat di kemudian hari, orang yang berwasiat hendaknya menjadikan sebagai saksi sekurang_kurangnya dua orang yang adil. Wasiat tersebut adalah yang berkaitan dengan harta. Ada pula wasiat yang berkaitan dengan hak kekuasaan yang akan dijalankan sesudah ia meninggal dunia, misalnya seseorang berwasiat kepada orang lain supaya menolong mendidik anaknya kelak, membayar utangnya, atau mengembalikan barang dipinjamnya, sesudah si pemberi wasiat itu meninggal dunia. Hak kekuasaan yang di serahkan hendaklah berupa harta. Hak kekuasaan yang bukan berupa harta, tidak sah diwasiatkan, umpamanya menikahkan anak perempuannya karena kekuasaan wali setelah ia meninggal dunia berpindah kepada wali yang lain menurut susunan wali yang telah ditentukan.[11]
Syarat orang yang diserahi untuk menjalankan wasiat yang akhir ada 6, yaitu:
1)      Islam, berarti orang yang akan menjalankan wasiat itu hendaklah seorang islam.
2)      Keadaannya sudah baligh (sampai umur).
3)      Hendaklah ia orang yang berakal.
4)      Hendaklah orang merdeka (bukan hamba sahaya).
5)      Amanah (keadaannya  seorang yang dapat dipercaya).
6)      Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang kehendaki oleh yang dikehendaki oleh yang berwasiat.
Disyaratkan beberapa syarat yang tersebut, karena penyerahan itu adalah penyerahan tanggung jawab. Maka oleh karena itu, orang yang diserahi itu apabila ia merasa bahwa sifat-sifat yang menjadi syarat tadi cukup ada pada dirinya serta dia merasa sanggup menjalankannya, hendaklah ia terima wasiat itu. Tetapi kalau ia merasa kurang cukup mempunyai sifat-sifat itu, atau kurang kemauan dan kesanggupan untuk menjalankan tanggung jawab yang begitu berat lebih baik tidak diterimanya agar dapat diserahkan kepada orang lain sehingga pekerjaan tidak sia-sia.[12]
            B.3.     HUKUM WASIAT
Menurut ijma’ hukum wasiat adalah sunnah muakkad, sekalipun bersedekah diwaktu sehat kemudian diwaktu sakitadalah lebih afdlal.maka seyogyanya, kapan saja jangan sampai wasiat itu terlupakan, seperti yang dijelaskan Hadist shahih: Tiada hak orang Muslim yang masih sempat bermalam satu atau dua malam dimana mempunyai sesuatu yang ia buat wasiat, melainkan wasiatnya itu tertulis diatas kepala.
Maksudnya, tidak ada sesuatu perkara yang benar atau yang bagus menurut agama kecuali yang seperti itu, karena manusia tidak dapat mengetahui kapankah kematiannya akan berkunjung dengan tiba-tiba. Makruh hukumnya berwasiat melebihi sepertiga(1/3) dari jumlah hartanya, jika hal itu tidak dimaksudkan untuk menghalangi hak ahli warisnya.kalau bermaksud seperti itu hukumnya haram.[13]
Wasiat sah apabila dilakukan oleh seorang mukallaf yang merdeka. Wasiat tidak sah apabila dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan budak, sekalipun statusnya makatab  kalau tanpa seizin dari orang tuanya, dan tidak sah pula apabila dilakukan oleh orang yang dipaksa. Dalam masalah wasiat ini orang yang sedang mabuk disamakan kedudukannya dengan orang mukallaf (yakni sah wasiatnya).
Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa wasiat sah dilakukan oleh anak kecil yang telah mumayyiz (dapat berdikari). Wasiat tersebut harus ditujukanuntuk tujuan yang halal, misalnya untuk pembangunan masjid dan perawatannya.[14]
D.    HIBAH
Hibah dalam arti luas,termasuk shadaqah(sedekah) dan hadiah. Hibah ialah memberikan sesuatu barang yang pada ghlibnya syah dijual atau piutang, oleh orang ahli tabarru’ dengan tanpaada penukarannya.[15] Menurut (Chairuman dan suhrawardi,1994:113) hibah secara etimologi berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan orang yang diberi.
Apabila diperhatikan ketentuan-ketentuan hukum islam tentang pelaksanaan hibah ini, maka hibah tersebut harus dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
1)      Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan.
2)      Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan, dan kalau si penerima hibah dalam keadaan tidak cakap bertindak dalam hukum(misalnya belum dewasa atau kurang sehat akalnya), maka penerimaan dilakukan oleh walinya.
3)      Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutamasekali oleh pemberi hibah.
4)      Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi(hukumnya sunnah), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang sengketa di belakang hari.
Dengan demikian, apabila penghibahan telah dilakukan semasa hidupnya(si mati) dan pada ketika itu belum sempat dilakukan penyerahan barang, maka sebelum harta dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hibah tersebut.  

BAB III
KESIMPULAN

Harta waris ialah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya.dalam istilah lain waris bisa disebut juga dengan fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama islam kepada semua yang berhak menerimanya.
Sedangkan harta peninggalan atau bisa disebut juga tirkah ialah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia,baik yang berbentuk benda (harta benda) dan hak-hak kebendaan,serta hak-hak yang bukan hak kebendaan.[16]
Dari definisi tersebut di atas dapat diuraikan bahwa harta peninggalan itu terdiri:
1.      Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan
Yang termasuk dalam kategori ini adalah benda bergerak, benda tidak bergerak, utang-piutang (termasuk diyah wajibah atau denda wajib, uang penganti qishash).
2.      Hak-hak kebendaan
Yang termasuk dalam kategori hak-hak kebendaan ini seperti sumber air minum, irigasi pertanian dan perkebunan, dan lain-lain.
3.      Hak-hak yang bukan kebendaan
Yang termasuk dalam kategori hak-hak yang bukan kebendaanini seperti hak khiyar, hak syuf’ah (hak beli yang diutamakan bagi salah seorang anggota syarikat atau hak tetangga atas tanah pekarangan, dan lain-lain.[17]
Tirkah dapat juga berupa hak-hak yang menjadi miliknya karena kematianny, misalnya diyat (denda) bagi pembunuhan secara tidak sengaja atau sengaja atas dirinya, misalnya para wali justru mengambil diyat dari pembunuh sebagai ganti qishash. Dengan demikian, diyat yang diambil dari pembunuh, hukumnya sama dengan seluruh harta.[18]
            Sebelum harta  peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan si mayit, yang terdiri dari:
1.      Zakat atas harta peninggalan
2.      Biaya perawatan mayat
3.      Biaya utang-piutang
4.      Wasiat
berpendapat wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal. Wasiat dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada oarang yang diberi wasiat. Oleh karena itu, tidak semua wasiat berbentuk harta. Adakalanya wasiat berbentuk nasihat, petunjuk perihal tertentu, rahasia orang yang memberi wasiat, dan sebagainya.




[1] Drs. Beni Ahmad Saebani, M Si., FIQH MAWARIS, CV. PUSTAKA SETIA,Bandung,2009,hal 13-15
[2] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum KEWARISAN ISLAM, kencana, jakarta,2008,hal 47-48
[3] FIQH MAWARIS, hal 15
[4] Suhrawardi Lubis, S.H. komis simanjuntak, S.H.,HUKUM WARIS ISLAM,Sinar grafika,jakarta,2008,hal 51
[5] Hukum KEWARISAN ISLAM,hal 39-40
[6] Ibid hal 45
[7] FIQH MAWARIS,HAL 15
[8] Hukum KEWARISAN ISLAM,HAL 45-46
[9] HUKUM WARIS ISLAM,hal 51
[10] Drs. H. Aliy As’ad,FATHUL MU’IN,menara kudus,kudus,jilid 2, hal 393
[11] FIQH MAWARIS,HAL 343-344
[12] H. Sulaiman Rasjid,Fiqih islam,ATTAHIRIYAH,jakarta,1954,hal 353
[13] FATHUL MU’IN,hal 393
[14] FIQH MAWARIS,HAL345-346
[15] FATHUL MU’IN,HAL 324
[16] Drs. Beni Ahmad Saebani, M Si., FIQH MAWARIS, CV. PUSTAKA SETIA,Bandung,2009,hal 13-15
[17] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum KEWARISAN ISLAM, kencana, jakarta,2008,hal 47-48
[18] FIQH MAWARIS, hal 15

No comments:

Post a Comment

silakan masukannya