Monday, January 3, 2011

Konsep Dasar Perjanjian Islam


PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Dalam praktek keseharian kita terutama dalam hal mu’amalah dengan sesama manusia banyak hal yang perlu dibahas tentunya tidak keluar daripada konsteks Fiqh Mu’amalah dari pada apa yang sudah ditentukan oleh Allah SWT didalam syari’atnya yang kemudian telah banyak diinterpretasikan oleh para ulama’ salafus sholihyang akhirnya menjadikan sebuah pedoman kita dalam melaksanakan mu’amalah tersebut. Nah, banyak sudah dari kita yang kurang begitu tahu menahu tentang urgensitas pentingnya konsep dasar dalam mu’malah yang notabene sudah menjadi jargon kegiatan kita sehari-sehari misalkan dalam contoh jual beli, sewa-menyewa, pinjam meminjam selalu saja dalam hal seperti ini banyak diantara masyarakat kita yang kurang mengerti betul sebetulnya bagaimana yang dikatakan praktek mu’malah (seperti halnya contoh diatas)yang sesuai dengan syariah? Tentunya hal ini disesabkan karena kurang pahamnya mereka tentang konsep dasar yang melandasi daripada praktek mu’malah tersebut adalah akad, atau secara umum biasa disebut dengan perjanjian atau perikatan.
Maka akan timbul suatu pertanyaan kenapa harus akad? Nah, untuk mengetahui hal ini perlulah kita membahasnya secara mendalam dalam makalah ini. Sedikit perlu kita ketahui bahwa akadlah yang mendasar dalam praktek muamalah dalam keseharian kita akadlah yang menentukan tentang perbuatan muamalah apa bagaimana dan apa tujuannya terhadap kemaslahatan kita. Maka dari kiranya pentinglah bagi kami untuk menuliskan makalah ini.

2.      Rumusan Masalah
Didalam makalah ini kami banyak menitik beratkan pembahasan kali ini dalam hal muatan tentang konsep dasar perjanjian islam yang didalamnya meliputi tentang :
1.      Pengertian tentang perjanjian islam baik secara etimologi maupun secara terminologi juga didalamnya kita bahas tentang makna khusus dan makna umum.
2.      Tentang rukun dan syarat akad, meliputi didalamnya pembahasan tentang; Al aqidain (yaitu dua orang mukallaf yang melakukan sebuah akad), obyek akad, tujuan akad dan bentuk ucapan (Sighat)akad itu sendiri.

A.    DEFINISI AKAD
Akad atau Al ‘aqd , jamaknya al uqud. Secara bahasa berarti ar rabth: “ikatan, mengikat”. Ar Rabth diartikan pula menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu [1].
Pengertian lafdziyah  sebagaimana terdapat dalam Al Quran pada surat Al Ma’idah ayat 1 :
ياأيّها الذين آمنوا آوفوا بالعقود
“ Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad (perjanjian atau perikatan) diantara kamu”.
Juga biasa secara etimologi, akad berarti juga sebagai;
الربط بين أطراف الشيء سواء أكان ربطاَ حسيّاَ أم معنوياَ من جانب أو من جانبينِ .
ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi”.
Juga bias bermakna العقدة  (sambungan), العهد (janji ).[2]


Dalam terminology fiqh akad didefinisikan dengan :
إرتباط إيجاب بقبول على وجه مشروع
pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hokum terhadap objeknya
Penegasan kalimat “ yang dibenarkan oleh syara’” maksudnya adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh para pihak dianggap sah apabila tidak bertentangan dengan syari’ah . kemudian makna dari kalimat “ menimbulkan akibat hokum pada obyek akad “ maksudnya adalah menimbulkan konsekwensi hak dan kewajiban yang mengikat para pihak (yang melakukan ijab dan qabul).
Yang dimaksud dengan  Ijab dalam definisi akad adalah ungkapan atau pernyataan kehendak melakukan perikatan (akad)oleh suatu pihak, biasanya disebut sebagai pihak pertama. Sedangkan Qabul adalah pernyataan atau ungkapan yang menggambarkan kehendak pihak lain yang memerima atau menyetujui pernyataan ijab, biasanya disebut pihak kedua.

Namun ada juga sebagian ulama’ fiqih, yang meninjau makna akad secara terminology terdapat dua makna, yaitu makna umum dan makna khusus.
I.                    Makna Umum
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pandangan ulama’ syafi’iyah, malikiyah, dan hanabilah, yaitu:
كلّ ما عزم المرء على على فعله سواء صدر بإرادةٍ منفردةٍ كاالوقف والإبراء والطلاق واليمين ام إحتاج إلى إرادتين فى إنشائه كاالبيع و الإيجار والتّوكيل و الرّهن
segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebeasan, atau sesuatu yang pemebntukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual bel, perwakilan, dan agadai. [3]
II.                Makna Khusus
Sebenarnya makna khusus ini sudah kita bahas secara terminology sesuai dengan pendapatnya Mustafa ahmad al zarqa’ dalam madkhal fi al fikhnya seperti yang telah tertera pada pengertiasn sebelumnya. Namun disini Al kamal ibnu human dalam fath al qadirnya memberikan definisi yang spesifik
تعلّق كلام أحد العاقدين باالأخر شرعاَ على وجه يطهر أثره فى المحل
pengaitan ucapan salah seorang yang berakad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.”

Dapat kita ambil contoh disini, misalkan ijabnya seoarang penjual :”saya telah menjual barang ini kepadamu”  atau “saya serahkan barang ini kepadamu”,  kemudian si pembeli akan mengucapkan akad qabul seperti :”saya beli barangmu “  atau “saya terima barangmu”.
Jadi setelah kita ambil kesimpulan dengan demikian, bahwa ijab qabul adalah suartu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’ oleh karena itu, dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syariat islam.
B.     Rukun dan Syarat Akad
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha’ berkenaan dengan rukun akad. Menurut jumhur ulama’ rukun akad terdiri atas :
1.      Shigat al – aqd,  ungkapan yang menunjukkan kesepakatan dua pihak yang melakukan akad.
2.      Al Aqididain, para pihak yang terlibat langsung melakukan akad.
3.      Ma’qud alaihi, objek akad yaitu sesuatu yang hendak diakadkan.
Menurut ulama’ hanafiyah, rukun akad hanya satu yaitu sighat, sedangkan unsur-unsur yang lain selain sighat al aqd oleh pengikut madzhab hanafi itu tidak dipandang sebagai rukun akad, namun dianggap sebagai konsekuensi logis dari adanya ijab dan qabul dalam melakukan akad. Adanya sighat al aqad sudah pasti mengharuskan adanya dua pihak pelaku akad (Al aqidain). Keduanya pun tidak akan melakukan akad tanpa adanya objek yang diakadkan (ma’qud alaih)[4] .
Juga dalam hal ini musthafa ahmad az zarqa’ menggunakan istilah muqawimat aqad (unsur penegak akad)atas beberapa hal yang dipandang sebagai rukun akad oleh jumhur ulama’ yaitu:
1.      Al aqidain
2.      Mahallul aqad (objek akad)
3.      Maudhu’ul akad(tujuan akad)
4.      Sighat akad (ijab dan qabul)

Terhadap tiga unsure yang pertama dari muqawwimat al aqd berlaku syarat-syarat umum yang harus terpenuhi dalam setiap akad, sebagai berikut :
1.      Al aqidain, atau pihak-pihak yang melakukan akad harus memenuhi persyaratan kecakapan bertindak huku (Mukallaf). Apabila pemilik objek adalah orang yang tidak cakap bertindak hokum seperti orang gila, syafih, anak kecil yang belum mumayyis, maka akadnya harus dilakukan oleh walinya.
2.      Mahallul ‘aqad (objek akad)dapat menerima hokum akad, artinya pada setiap akad berlaku ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan objeknya , apakah dapat dikenai hokum akad atau tidak. Syarat umum mengenai objek adalah : (a). Berbentuk harta, (b) dimiliki oleh seseorang, (c) bernilai harta dalam pandangan syara’. Jumhur ulama’ menambahkan ketentuan umum harus suci objeknya.
3.      Maudhu’ul akad (tujuan akad), diizinkan oleh syarat atau tidak bertentangan dengannya. Tujuan akad berkaitan dengan berbagai bentuk akad. Misalnya, tujuan akad jual beli adalah pemindahan milk at tam dengan sejumlah imbalan tertentu. Tujuan akad ijarah adalah pemindahan milk al manfaat dengan imbalan tertentu, sedangkan tujuan akad ariyah adalah perizinan hak intifa’ dengan tidak disertai imbalan. Tujuan akad hanya dapat diketahui berdasarkan syara’ dan tidak boleh bertentangan dengan syara’. Misalnya berbagai akad hilah yang bertujuan menghalalkan riba.
4.      Akadnya harus mengandung manfaat.
Berikut ini uraian yang lebih rinci tentang unsure-unsur akad:
1.      Aqidain
Sighat al aqd atau ijab dan qabul yang merupakan esensi akad tidak akan terpenuhi kecuali ada aqidain (kedua belah pihak yang melakukan akad). Dilihat dari segi kecakapan melaksanakan akad, sebagian diantara manusia tidak dapat melakukan akad apapun . sebagian dapat melakukan akad dengan syarat tertentu dan sebagian yang lain dapat melakukannya.
Aqidain dapat dianggap cakap melakukan perbuatan hokum harus memenuhi prinsip kecakapan (ahliyatul aqid) melakukan akad untuk diri sendiri, atau karena mendapat kewenangan melakukan akad (al wilayatul aqid) menggantikan orang lain berdasarkan perwakilan (wakalah).


2.      Mahalul al aqd
Mahalul aqdi atau biasa disebut dengan ma’qud alaih adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hokum yang ditimbulkannya. Objek akad karena terjadinya transaksi antar aqidain.
2.b. Syarat-syarat mahalul aqad
            1. objek akad tersedia ketika terjadi akad
            Tidak sah mengakadkan benda yang tidak ada, seperti menjual tanaman sebelum tumbuh, menjual anak hewan didalam perut induknya dan lain-lain, seluruh akad ini adalah batal. Menurut ulama hanafiyah dan syafi’iyah objek akad yang tidak dapat dihadirkan dalam waktu akad adalah adalah tidak sah baik transaksi yang bersifat timbal balik (muawwadhah) maupun transaksi tabarru’. Pengecualian terhadap prinsip ini mereka membolehkan praktek salam, ijarah, musyaqah, dan istisna’. [5] berdasarkan istihsan untuk menjaga hajat manusia dalam praktek tersebut, berdasarkan saling kepercayaan diantara mereka, dan berdasarkan ketetapan syara’ mengenai praktek tersebut.
            2. mahal al aqd / ma’qud alaihi dibenarkan oleh syara’
            3. mahalul aqd dapat diserahterimakan pada waktu terjadinya akad
Pada prinsipnya para fuqaha’ sepakat, terhadap persyaratan ini, yakni bahwasanya objek akad harus dapat diserahkan secepat mungkin setelah akad berlangsung. Jika pihak yang berakad tidak mampu menyerahkannya, mereka menggangap akad ini batal. Persyaratan tersebut diluar ketentuan dalam akad ijarah dan salam atau transaksi jasa / pekerjaan yang lumrah terjadi pada profesi tertentu, penggunaan jasa tertentu, dimana dalam akad ini ajir memenuhi permintaan musta’jir secara tidak langsung, akan tetapi melaui proses waktu dalam penyelesaian akad. [6]
                        4. Mahal Al Aqd harus jelas dan diketahui oleh aqidain
Transparansi, ungkapan ini secara umum mungkin dapat mewakili maksud dan tujuan pada syarat yang keempat ini. Disini muta’aqidain harus menjelaskan kondisi riil mahal aqd dengan cara memperlihatkan, menjelaskan corak dan sifatnya, artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi obyek harus transparan. Para fuqaha’ sudah sepakat bahwasanya obyek akad harus diketahui oleh masing-masing pihak dengan pengetahuan sedemikian rupa untuk menghindari perselisihan dikemudian hari. Sebagaimana rasulullah saw. Telah melarang jual beli gharar dan majhul.
                        5.Objek akad harus suci


3. maudhu’ul aqad (tujuan akad)
Yang dimaksud dengan maudhu’ul akad adalah tujuan dan hokum yang mana suatu akad disyariatkan untuk tujuan tersebut. Untuk satu jenis akad tujuan yang hendak dicapainya satu, dan untuk jenis akad lainnya berlaku tujuan yang berbeda.
4.  Sighat Al Aqad
Biasa disebut dengan ijab qabul adalah merupakan ungkapan yang menunjukkan kesepakatan dua belah pihak yang melakukan akad dan kesepakatan tersebut lazimnya terjadi melalui formula akad (sighat al aqd). Nah, disini dia sebagai unsure akad yang paling penting, bahkan dalam pandangan fuqaha’ hanafiyah suatu akad adalah identik dengan sighatnya. Sighat akad yang terdiri dari ijab dan qabul sesungguhnya merupakan ekspresi kehendak (iradah) yang menggambarkan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak atas hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari perikatan akad.
Syarat-syarat sighat aqad:
a. Ijab dan qabul harus jelas( dinyatakan dengan ungkapan yang jelas dan pasti maknanya) sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.
b. adanya keseuaian maksud antara ijab dan qabul. Pernyataan qabul dipersyaratkan adanya keselarasan atau persesuaian terhadap ijab dalam banyak hal.
c. ijab dan qabul mencerminkan kehendak masing-masing pihak secara pasti, tidak ragu-ragu dan tidak menunjukkan adanya unsure keraguan dan paksaan.
d. ijab dan qabul harus bersambung, maksudnya ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis.
3. Syarat-syarat Akad
Berdasarkan unsure-unsur akad yang telah kita bahas diatas, ada beberapa macam syarat akad, yaitu syarat terjadinya akad, syarat syah, syarat memberikan, dan syarat keharusan
a. syarat terjadinya akad
            syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal. Syarat ini terbagi atas dua bagian :
1. umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad.
2. khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak disyaratkan pada bagian lainnya.
b. syarat sah akad
adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak.
Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama’ hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual-beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsure kemadharatan, dan syarat-syarat jual beli rusak
c. Syarat Pelaksanaan Akad
dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Maksud kepemilikan adalah sesuatu yang dimilki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilkinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam bertasharuf sesuai dengan ketetapan syara’, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai penggantian (menjadi wakil seseorang).
Dalam hal ini, disyaratkan antara lain :
1. barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
2. barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain
d. Syarat kepastian Hukum
dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual-beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum tampak, maka akad batal atau dikembalikan.



[1] Mustafa Ahmad Az Zarqa’, Al Madkhal Al Fikh Al’ Amm, Jilid. I (Beirut Dar El Fikr, Lebanon, hal. 1968) Hal. 291.
[2] Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al islami wa Adillatuhu, juz IV, damsyik, dar Al fikr, 1989, hlm. 80.
[3] Ibnu Taimiyah, Nazhariyah Al Aqdi, hlm. 81-21
[4] Op. cit, wahbah zuhaili, Fiqh Islam Wa adilatuhu, hlm. 5
[5] Salam adalah jual beli pesanan (indent) atau menjual suatu benda yang penyerahanya ditunda dengan pembayaran terlebih dahulu. Ijarah adalah akad atas manfaat suatu benda atau jasa seseorang dengan imbalan. Isthisna’ adalah kesepakatan atas karya tertentu dari seseorang pengrajin tertentu dengan imbalan tertentu. Sedangkan musyaqah adalah kerjasama dibidang pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap dalam pemeliharaan tanaman dengan membagi hasilnya sesuai kesepakatan.
[6] Kamil Musa , Al Ahkam Al mu’amalat, hlm.105

No comments:

Post a Comment

silakan masukannya