Sunday, January 9, 2011

Tata cara berpekara di peradilan agama



BAB I
PEMBAHASAN

A.    Bagaimana tata cara berperkara di Peradilan di Indonesia
A.    Prosedur perkara tingkat pertama
Pengadilan agama (PA) adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan agama.hal itu menunjukkan bahwa pengadilan agama adalah satuan (unit) penyelenggara peradilan agama.[1] tugas pokoknya, sebagaimana yang daiatur dalam pasal 2 Undang-Undang no.14tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan  pokok kekuasaan Kehakiman, adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara yang di ajukan kepadanya. Perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama adalah perkara-perkara tertentu, antara orang-orang yang beragama Islam demi tegaknya hukum dan keadilan.
Dalam rangka melakasanakan tugas pengadilan, panitera menerima perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama untuk diproses lebih lanjut.
1.      Pendaftara Perkara
Pendaftaran perkara diajukan kepada Pengadilan Agama melalui petugas kepaniteraan di meja I. Aktivitas yang dilakukan meja I dalam proses penyelesaian perkara Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
a.       Menerima gugatan permohonan, perlawanan, pernyataan banding, kasasi, permohonan peninjauan kembali (PK), eksekusi, penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan biaya eksekusi.
b.      Membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap tiga dan menyerahkan SKUM tesebut kepada calon penggugat atau pemohon.
c.       Menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada calon penggugat atau pemohon.
d.      Menaksir biaya perkara sebagaimana ditetapkan dalam pasal 121 HIR atau pasal 145 RBG yang kemudian dinyatakan dalam SKUM.
e.       Memberikan penjelasan-penjelasan yang diangap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan sesuai dengan Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan lingkungan Peradilan Agama tanggal 11 Januari 1994, Nomor: MA/Kumdil/012/I/K/1994
2.         Membayar Panjar Perkara
Pembayaran panjar perkara dilakukan di abgian pemegang kas. Kas merupakan bagian meja I. Tugas pemegang kas:
a.       Pemegang Kas menerima pembayaran uang panjar perkara sebagaimana tersebut dalam SKUM.
b.      Pemenggang Kas menandatangani SKUM, membubuhi nomor urut perkara dan tanggal penerimaan perkara dalam SKUM dan dalam surat gugatan/permohonan sebagaimana tersebut dalam buku jurnal yang berkaitan dengan perkara yang diajukan.
c.       Mengembalikan asli serta tindasan pertama SKUM beserta surat gugatan/Permohonan kepada calim penggugat / pemohonan.
  
3.         Menyerahkan Kelengkapan Berkas Perkara
Setelah perkara didaftar dan biaya panjarnya dibayar, pihak yang berperkara kemudian melengkapi berkas perkara sesuai ketentuan dan menyerahkannya kepada petugaas di meja II. Proses penyelesaian perkara yang berlangsung di meja II yaitu:  
a.       Menerima surat gugat/perlawanan dari calon penggugat atau perlawanan dalam rangkap sebanyak jumlah tergugat / terlawan di tambah dua rangkap.
b.      Menerima surat permohonan dari calon pemohon sekurang-kurangnya sebanyak dua (2) rangkap.
c.       Menerima tindasan pertama SKUM dari calon penggugat/lawan/pemohon.
d.      Mendaftar / mencatat surat gugatan / permohonan dalam register yang bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan / permohonan tersebut.
e.       Menyerahkan kembali satu rangkap surat gugatan / permohonan yang telah diberi nomor register kepada penggugat atau pemohon.
f.       Asli surat gugatan / permohonan dimasukkan dalam sebuah map khusus dengan melampirkan tindasan pertama SKUM dan surat-surat yang berhubungan dengan gugatan / permohonan untuk disampaikan kepada Wakil Panitera. Selanjutnya, berkas perkara gugatan/permohonan tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui panitera.
g.      Mendaftar atau mencatat putusan Pengadilan Agama / pengadilan tinggi Agama atau Mahkamah Agung dalam buku register yang bersangkutan.
Alur yang dilalui surat gugatan / permohonan setelah diterima oleh sub kepaniteraan permohonan atau gugatan (Meja II) hingga di sidangkan oleh Pengadilan Agama yaitu:
a.       Sub kepaniteraan permohonan atau gugatan mempelajari kelengkapan persyaratan dan mencatat semua data-data perkara dalam buku penerimaan perkara. Berkas tersebut kemudian di sampaikan kepada panitera dengan melampirkan semua formulir yang berhubungan dengan pemeriksaan perkara.
b.      Selambat-lambatnya pada hari kedua setelah surat gugatan atau permohonan diterima di bagian kepaniteraan, panitera harus sudah menyerahkan kepada Ketua Pengadilan Agama selanjutnya mencatatkannya dalam buku eskpedisi, kemudian menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada panitera dengan disertai penetapan Penunjukkan Majlis Hakim (PMH) yang harus dilakukannya selambat-lambatnya 10(sepuluh) sejak gugatan / permohonan di daftarkan.
c.       Panitera menyerahkan berkas perkara yang diterimanya dari Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Agama kepada Majlis/Hakim yang ditunjuk berdasarkan PMH. Selanjutnya panitera menunjuk seorang atau lebih panitera penganti untuk diper-bantukan kepada Majlis/Hakim yang bersangkutan.
d.      Setelah Majlis/Hakim menerima berkas perkara dariKetua/Wakil Ketua tersebut, kemudian Ketua Majlis/Hakim membuat Penetapan Hari Sidang (PHS).[2]

4.    Pemanggilan Para Pihak  
Mengenai pemanggilan pihak-pihak ada 2 yaitu menurut UU Nomor 7 Tahun 1989 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 dan menurut HIR/RBg(Peradilan Umum). Kami akan mengambil menurut HIR/RBg(Peradilan Umum) dikarenakan lebih umum dan waktunya tidak terlalu jauh dengan tahun sekarang.
Ketentuan Pemanggilan menurut HIR/RBg(Peradilan Umum) sebagai berikut:
a.       Jika Pemanggilan pertama untuk sidang pertama kepada penggugat atau pemohon telah dilakukan dengan resmi dan patut tetapi ia atau kuasa sahnya tidak hadir, maka sebelum perkaranya diputus dengan digugurkan, ia dapat dipanggil untuk kedua kalinya. Resmi yaitu bertemu langsung secara pribadi dengan para pihak atau kuasa hukumnya. Apabila tidak bertemu dengan para pihak, maka penggilan disampaikan melalui Kepalan Desa/ Kelurahan setempat. Patut yaitu panggilan harus sudah dapat diterima minimal 3 (tiga) hari sebelum sidang pertama dilaksanakan.
b.      Pemanggilan terhadap para pihak yang berada diluar yuridiksi dilaksanakan dengan meminta bantuan Pengadilan Agama tempat para pihak berada untuk memanggil yang bersangkutan. Selanjutnya, Pengadilan Agama tersebut mengirim relaas kepada Pengadilan Agama yang meminta bantuan.
c.       Panggilan terhadap tergugat atau termohon yang berada di luar negeri dilakukan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat, dengan ketentuan:
1)      Untuk perkara permohonan cerai talak, perkara permohonan untuk beristri lebih dari seorang dan perkara gugatan cerai,secepat-cepatnya sidang pertama adalah enam bulan sejak perkara terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama.
2)      Untuk perkara selainnya, dengan memperhitungkan selambat-lambatnya penggilan sudah diterima dan memperhitungkan waktu untuk yang dipanggil itu datang menghadap Pengadilan Agama yang bersangkutan.
d.       Jika tergugat atau termohon tidak diketahui  tempat tinggalnya, sedangkan perkara itu bukan tentang gugatan cerai, maka panggilan kepada yang tidak diketahui tempat tinggalnya tersebut dilakukan dengan cara menempelkan panggilan pada Papan Pengumuman Pengadilan Agama, dengan tenggang waktu antara panggilan dan sidang adalah 30 hari. Adapun untuk selain perkara perkawinan, pemanggilan dilakukan dengan cara diumumkan di papan pengumuman Pemerintah Kabubaten / Kota setempat.[3]
5.         Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara
Pemeriksaan perkara dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a.       Tahap sidang pertama. Tahap ini terdiri dari: (1) hakim membuka sidang,(2) hakim menanyakan identitas para pihak , (3) pembacaan surat gugatan atau permohonan oleh penggugat / pemohonan, dan (4) anjuran untuk berdamai.
b.      Tahap jawab-berjawab (replik-duplik). Setelah pembacaan gugatan / permohonan, kemudian upaya damai tidak berhasil, ketua majelis akan bertanya kepada tergugat atau termohon, apakah ia akan menjawab lisan atau tertulis. Jika akan menjawab tertulis, maka ditanyakan kembali, apakah sudah siap. Jika belim siap, kapan tergugat / termohon memiliki kesiapan. Sejak saat itu, masuklah pada proses jawab-menjawab, baik antara pihak, maupun antara hakim dengan para pihak.
c.       Tahap pembuktian. Tahap pembuktian dimulai setelah tidak ada lagi yang akan dipertanyakan oleh hakim. Setelah itu, hakim memeriksa bukti-bukti yang diajukan pihak berperkara.
d.      Tahap penyusunan konklusi. Setelash tahap pembuktian berakhir, sebelum majelis bermusyawarah, pihak-pihak diperbolehkan mengajukan konklusi (kesimpulan-kesimpulan dari sidang-sidang menurut pihak yang bersangkutan). Karena konklusi ini sifatnya untuk membantu majelis, pada umumnya hal ini tidak diperlukan bagi perkara-perkara yang ringan, sehingga hakim boleh meniadakannya.
e.        Musyawarah Majelis Hakim. Musyawarah hakim dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum. Semua pihak maupun hadirin disuruh meninggalkan ruangan sidang. Panitera sidang sendiri, kehadirannya dalam musyawarah majelis adalah atas izin majelis. keputusan sidang musyawarah majelis ditandatangani oleh semua hakim tanpa panitera. Ini merupakan lampiran Berita Acara Sidang yang nanti akan dituangkan  kedalam dictum keputusan.
f.       Pengucapan Keputusan. Pengucapan keputusan selalu dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Selesai keputusan diucapkan, ketua majelis akan bertanya kepada pihak penggugat atau tergugat, apakah menerima keputusan tersebut atau tidak. Bagi pihak yang menyatakan menerima, maka baginya tertutup upaya untuk melakukan banding. Sedangkan bagi pihak yang menyatakan tidak menerima atau piker-pikir dulu, baginya masih terbuka melakukan upaya banding.[4]

6.      Eksekusi
UU Nomor 7 tahun 1989, Peradilan Agama sudah dapat melaksanakan secara paksa (eksekusi) atau putusan penetapannya sendiri, termasuk dapat melaksanakan segala macam bentuk sita (beslag) yang diperlukan.
Hal-hal yang diperlukan dalam masalah eksekusi yaitu:
a.      Diktum putusan yang dapat dieksekusi hanyalah yang bersifat condemnatoir, artinya berwujud menghukum pihak untuuk membayar sesuatu, menyerahkan sesuatu atau  melepaskan sesuatu dan sejenisnya.
b.      diktum yang bersifat condemnatoir tadi harus jelas dan rinci misalnya wujudnya, bentuknya, batas-batasnya, dan lain sebagainya.
c.       Benda atau barang yang untuk dibayarkan atau diserahkan itu harus bebas dari sangkutan dari pihak ketiga.
d.      Terjaminnya pembayaran / penyerahan benda yang disebutkan di dalam diktum, juga tidak luput dari ada atau tidaknya benda itu.
e.       Biaya eksekusi bukanlah murah, juga bukan tidak berbahaya.[5]
7.      Hasil Pemeriksaan Perkara.
Meja III merupakan unit kerja terakhir yang dilalui oleh sebuah perkara tingkat pertama yang diajukan kepada Pengadilan Agama . tugas-tugas Meja III adalah:
a.       Menyerahkan salinan Putusan Pengadilan Agama atau Mahkamah Agung kepada pihak yang berkepentingan.
b.      Menyerahkan salinan penetapan Pengadilan Agama kepada yang berkepentingan.
c.       Menerima memori/kontra memori banding , memori/kontra memori kasasi. Jawaban/tanggapang peninjauan kembali dari yang lain-lain.
d.      Menyusun, menjahit dan mempersiapkan berkas.[6] 
BAB III
KESIMPULAN

1.      Meja I
Pihak berperkara yang dating didamaikan atau diberi nasehat serta penjelasan tentang upaya hukum oleh Panitera Muda Permohonan atau gugatan.
2.      Operator Komputer Yuridis
Membantu pembuatan surat ajuran gugatan atau permohonan bagi pihak yang berperkara yang telah diberikan nasehat dan upaya damai dari meja I.
3.      Meja I
Surat ajuan tersebut dibuat rangkap 5 dan diterima Meja I untuk dicek dan diperiksa, kemudian diberikan SKUM. Perkara permohonan oleh Panitera Muda Permohonan, sedangkan perkara gugatan oleh Panitera Muda Gugatan.
4.      Bendaharawan / Kasir
Menerima surat ajuan dan SKUM rangkap 3 serta Panjar Biaya Perkara (PBP) dari pihak berperkara dan memberikan Nomor Register Perkara.
5.      Meja II
Menerima surat  permohonan / gugatan sebanyak rangkap 4 ditambah banyak pihak yang digugat, dan menyerahkan satu rangkap surat ajuan yang telah diberi Nomor Register Perkara.
6.      Meja II
Menyusun dalam map khusus serta melampirkan tindasan pertama SKUM dan surat-surat yang berkaitan dengan gugatan / permohonan kemudian menyerahkan kepada Wakil Panitera.
7.      Wakil Panitera
Memeriksa kembali kelengkapan dan keabsahan serta kepatutan berkas perkara, kemudian diserahkan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.
8.      Panitera
Memeriksa kembali kelengkapan dan keabsahan serta kepatutan berkas perkara, kemudian menyuruh petugas Meja II untuk mencatat dalam Buku Register Perkara. Selanjutnya, menyerahkan berkas kepada Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Agama.
9.      Ketua/Wakil Ketua PA
Mencatat dalam buku ekspedisi dan mempelajari berkas perkara kemudian membuat Penetapan Majelis Hakim (PMH) yang akan memeriksa perkara tersebut, menyershksn kembali berkas kepada Panitera.
10.  Panitera
Menerima berkas dari Ketua/Wakil Ketua dan membuat penetapan penunjukkan Panitera Pengganti dan Jurusita Pengganti, kemudian menyerahkan berkas kepada Majelis Hakim yang ditunjuk.
11.  Majelis Hakim/Proses Persidangan
Membuat Penetapan Hari Sidang (PHS), memanggil para pihak melalui jurusita Pengganti, memeriksa dan memproses perkara bersama Panitera Penganti.
12.  Majelis Hakim dan Panitera Pengganti
Menyerahkan putusan keluarga kepada Meja III untuk dibuat Akta Cerai dan memberitahukan segala proses persidangan kepada Meja II melalui Panitera Pengganti untuk dicatat dalam Buku Register Perkara.
13.  Meja III
Memeriksa kelengkapan, meminutasi, dan menjahit berkas serta membuat Akta Cerai bagi perkara yang telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta menyerahkan Akta Cerai kepada pihak yang bersangkutan.

Daftar Pustaka

Ø  Bustanul Arifin, ‘’Pelembagaan Hukum Islam Indonesia’’, Jakarta Insani Press, 1996.
Ø  Mohammad Daud Ali,’’ Hukum Islam, UUPA, dan masalahnya’’, Bandung, Ulul Alba, 1997. 
Ø  Hasan Bisri, ‘’Peradilan Agama dan Peradilan Islam’’, Ulul Albab press, Bandung, 1997
Ø  DR. Jaih Mubarok,M Ag, ‘’Peradilan Agama Di Indonesia’’, pustaka bani Quraisy, Bandung, 2004
Ø  Roihan A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991



[1] Hasan Bisri, ‘’Peradilan Agama dan Peradilan Islam’’, Ulul Albab press, Bandung, 1997, h. 115
[2] DR. Jaih Mubarok,M Ag, ‘’Peradilan Agama Di Indonesia’’, pustaka bani Quraisy, Bandung, 2004, h, 78
[3] Roihan A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991, h, 87-89
[4] Ibit. 81-82
[5] Roihan, h.223-224
[6] Ibid, h. 223

No comments:

Post a Comment

silakan masukannya