Tuesday, January 4, 2011


BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian jual beli
Secara etimologi berasal dari kata باَعَ (Ba’ ᾱ) yang artinya : “pergantian harta dengan harta”, atau diistilahkan dalam banyak literatur yang ada dengan perkataan” penerimaan barang satu dengan barang yang lain” atau dengan bahasa yang lain dikatakan “ mengganti barang yang satu dengan barang yang lain”. [1] maka dari keterangan singkat diatas dapat kita simpulkan bahwa jual beli secara etimologi adalah menjual, memberi, mengganti, juga menerima barang yang satu dengan barang yang lain.
Makna secara terminologi. Dalam hal ini kita akan coba mengutip pendapat ulama’ madzhab atau fuqoha’ dalam memberikan makna  makna istilah dari jual beli, yaitu :
a)      Makna Umum : yaitu “ Mutlaknya berarti jual beli secara umum atau dikatakan jual beli dengan makna yang semisal“.
b)      Makna Khusus : yaitu “ berarti jual beli yang maknanya cenderung  khusus yaitu hanya berkisar pada jual beli dan sebagainya.”
Menurut ulama’ Hanafiah mereka lebih cenderung memaknai jual beli itu dengan makna yang lebih umum, seperti  contoh menyamakannya dengan kata “ saling meridhai “ akan tetapi disini ibnu hamam menerangkan bahwa “ sesungguhnya makna at taradhi adalah termasuk dalam makna etimologi karena kalau diungkapkan hanya etimologi saja maka artinya pun tidak akan mungkin dipahami oleh orang banyak sama halnya seperti perkataan “ hamid menjual bajunya “ ini jelas karena dia mengganti atau menjual barangnya dengan saling ridha. Begitupun juga dengan para ulama’ hanafiyah sering menkaitkannya dengan kata “ Al Iktisab  (mata pencaharian )“ atau “ Badal (mengganti)“ tujuannya untuk memelihara dari makna penerimaan hibah dengan hibah karena mengganti harta dengan harta akan tetapi dengan jalan bersedekah dengan dengan tujuan mencari pendapatan.
Juga menurut  ulama’ dari golongan Malikiyah bahwa jual beli adalah :” akad yang mengambil daripadanya bukan atas dasar kemanfaatan dan kesenangan semata, hal ini untuk menjaga semakna dengan contoh, sewa menyewa, menikah, juga hibah.
Sedangkan menurut Syafi’iyah adalah : “ penerimaan harta dengan harta dengan tujuan khusus”.
Menurut Hanabilah adalah menganti harta meskipun dalam hal jaminan atau dalam hal kemanfaatan yang dibolehkan”. Atau dengan istilah lain mengganti harta dengan harta yang dimiliki untuk saling memiliki.
Sedangkan makna jual beli secara khusus adalah jual beli yang hanya bermakna jual beli secara khusus saja dan tidak mengarah kepada istilah lain, seperti yang telah disebutkan malikiyah dan hanafiyah dalam pengertian diatas.
Kemudian syafi’iyah memperhatikan bahwasanya makna untuk jual beli itu yang dimaksudkan adalah makna jual beli itu sendiri.
Jadi secara terminologi dapat kita artikan bahwa jual beli adalah pergantian harta dengan harta dengan saling meridhai. Jual beli termasuk hal penting dalam mu’amalat bagi sesama manusia. Dan juga dapat kita katakan termasuk dari mata pencaharian yang utama jika memenuhi rukun dan syaratnya secara syar’ie.

B. Dasar Hukum ( Landasan hukum Al Qur’an dan As sunnah )
Jual beli disyari’atkan oleh Allah SWT. Berdasarkan dari dalil-dalil dalam Al Qur’an maupun As Sunnah baik perkataan maupun perbuatan Nabi SAW. Sebagaimana berikut :
a)      Dalil dari Al Qur’an ( terdapat dalam surat Al Baqarah : 275 )
و أحلّ الله البيع و حرّم الرّبا
“ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …..”
b)      Dari Hadist
و عن رفاعة بن رافع أنّ النّبي صلى الله عليه والسلام سئلَ : "أيّ الكسب أفضل ؟ قالَ : عمل الرّجل بيدهِ و كلّ بيعٍ مَبرور ." ( رواه البراز و صححه الحاكم )
“ dari Rafi’ah bin Rafi’ bahwasannya Nabi SAW. Ditanya :” apakah pekerjaan yang paling utama?”, kemudian nabi menjawab:” seorang laki-laki yang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang baik.” (H.R. Barraz dan disahkan oleh hakim )

Juga ketika Rasulullah melakukan aktifitas berdagangdan bersabda, :
عن حكيم بن حزم قال: قال رسول الله ص.م. : " البيعان باالخيار ما لم يفترقاَ ( رواه البخارى و مسلم )
“ dari Hakim bin hazm berkata: Rasulullah bersabda :” Pembeli dan Penjual mempunyai pilihan selagi keduanya belum berpisah. “ (H.R. Muttafaq Alaih).

Maka dapatlah kita ambil hikmah daripada disyari’atkannya jual beli ialah seorang muslim bias mendapatkan apa yang dibutuhkannya dengan sesuatu yang ada ditangan saudaranya tanpa disertai dengan kesulitan yang berarti.

C. Syarat dalam Jual Beli
Dalam hal ini kita coba menuliskan pertama syarat yang berkaitan tentang jual beli tersebut baik dari penjual dan pembelinya juga barang dan harganya, kedua kita melihat dari segi syarat syah dan fasidnya jual beli tersebut.
a)      Syarat bagi seorang  penjual dan pembeli, adalah diantaranya :
1. Berakal, hal ini sudah jelas bahwa seseorang dikatakan mukallaf adalah ketika dimana akal sehatnya dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil dimana hal ini juga menjadi tolak ukur manusia dalam melakukan kegiatan mu’malahnya.
2. Mumayyiz, hal ini juga mempengaruhi mukallafnya seseorang karena memang seseorang yang sudah mukallaf dari segi hokum itu sudah terbebani amaliahnya karena sudah merupakan sebuah kewajiban yang mesti dan harus dilakukan. Dan bagi orang yang mumayyiz dirinya harus dapat membedakan antara mana yang termasuk perintah dan itu disyari’atkan juga mana-mana larangan yang memang harus ditinggalkan juga orang yang mumayyiz ini sudah dapat menimbang baik buruknya entang asas kemaslahatan dan kemanfaatan atas suatu amal perbuatan.
3. Ghoiru Mahjurun Alihi , maksudnya adalah orang yang tidak terhalang dalam melakukan amalan mu’amalahnya karena sesuatu hal yang menyangkut status dirinya dalam hal ini lebih dijelaskan oleh Allah SWT. Dalam surat An Nisa’ : 5. [2]       
4. Tidak Makruh, jadi tidaklah jual beli itu termasuk hal yang makruh. Hal ini ditegaskan oleh Rasul SAW. قال النبي ص.م. : " إنما البيع عن ترضِ . (رواه إبن ماجة و إبن حبن )

b)      Kemudian syarat bagi barang yang dijual, harga dan lain sebagainya, adalah :
1. barang yang dijual adalah milik penuhnya si penjual sedangkan harga adalah ketentuan si pembeli, berarti barang yang dijual haruslah merupakan hak milih penuh si penjual dari apa yang diperdagangkannya kemudian mematok sebuah harga namun pembelilah yang pada nantinya menentukan harga tersebut dengan menawarnya misalkan, hal inilah kenapa antara kedua syarat diatasa saling berkaitan.[3]
2.  lebih memungkinkan dua orang yang berakad lebih selamat barang yang dibeli, dan harga juga kesepakatan. Nah, tiga unsur inilah yang bersambung dimana ada tempat dan barang yang aman juga kesepakatan.
3. dan dari apa-apa yang dilarang dalam jual beli tersebut, dalam hal ini pembahasannya akan mengarah kepada dua hal pertama tentang syarat syah dan fasidnya jual beli yang akan kita uraikan keduanya tentang macam-macam jual beli yang dilarang dan diharamkan. [4]


c)      Syarat-syarat yang disahkan dalam jual beli dan syarat-syarat yang tidak disahkan didalamnya.
1. syarat-syarat yang disahkan dalam jual beli
Pensyaratan sifat dalam jual beli itu diperbolehkan. Oleh karena itu, jika sifat yang disyaratkan itu memang ada dalam jual beli sah, dan jika tidak ada maka tidak sah. Misalnya, pembeli buku mensyaratkan hendaknya buku itu kertasnya kuning, atau pembeli rumah yang mensyaratkan bahwa kusennya harus terbuat dari kusen jati yang bai, dan lain sebagainya.
Sedangkan persyaratan manfaat khusus dalam jual beli juga diperbolehkan, misalnya penjual hewan mensyaratkan ia menaiki hewan yang akan dijualnya kesalah satu tempat maka hal ini juga boleh.
d)      Syarat-syarat yang tidak disahkan dalam jual beli
1.      menggabungkan dua syarat dalam satu jual beli, misalnya pembeli kayu bakar mensyaratkan bias memecah kayu bakar sekaligus membawanya, karena rasulullah SAW. Bersabda : “dua syarat dalam satu jual beli itu tidak halal” (H.R. Tirmidzi an Abu dawud).
2.      Mensyaratkan sesuatau yang merusak inti dari jual beli itu sendiri, misalnya penjual kambing mensyaratkan kepada pembeli bahwa pembeli tidak boleh menjualnya lagi atau dengan syarat yang tidak memungkinkan dan menyulitkan bagi si pembeli. Seperti sabda RAsulullah SAW. قال النبي ص.م. :" ولا بيع إلاّ فيما تملكُ ." ( رواه أبوا داود و الترميذى )
3.      Syarat bathil yang bisa mensahkan jual beli dan membatalkannya, misalkan penjual budak mensyaratkan bahwa wala’nya budak yang akan dijual itu menjadi miliknya. Syarat semacam ini bathil namun sah. Rasulullah SAW. Bersabda : “من اشترط شرطا ليس فى كتاب الله فهو باطل و إن كان مائة شرطٍ  “
barang siapa mensyaratkan persyaratan yang tidak ada dalam kitabullah maka batil, kendati seratus persyaratan sekalipun. (H.R. Abu Daud dan AL Hakim)[5]
D.Rukun dalam Jual beli
Menukil pendapat Abu bakr Jabir al Jaza’iri bahwa “rukun-rukun jual beli adalah lima seperti yang akan kita bahas diwah ini” :
1. Penjual. Ia harus memiliki barang yang dijualnya atau mendpatkan izin untuk menjualnya, dan sehat akalnya.
2. Pembeli. Ia disyaratkan diperbolehkan bertindak dalam arti ia bukan orang yang kurang waras, atau bukan anak kecil yang tidak mempunyai izin untuk membeli.
3. Barang Yang dijual. Barang yang dijual haruslah harus merupakan barang yang boleh dijual, bersih, bias diserahkan kepada pembeli, dan bisa diketahui pembeli meskipun hanya dengan cirri-cirinya.
4. Bahasa Akad. Yaitu Ijab  (penyerahan) dan qabul (penerimaan). Baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan.
5. Kerelaan kedua belah pihak, penjual dan pembeli. Jadi jual beli tidak sah dengan ketidak relaan salah satu dari kedua belah pihak.[6]










No comments:

Post a Comment

silakan masukannya